Perkawinan Campuran Dalam Yurisdiksi Indonesia
Perkawinan Campuran Dalam Yurisdiksi Indonesia
Perkawinan campuran kini marak dilakukan warga masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Kenali bagaimana pengaturan serta prosedur perkawinan campuran di Indonesia.
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak fundamental yang dimiliki dan diperoleh manusia semata-mata karena dirinya adalah manusia. HAM tidak diberikan oleh negara ataupun hukum, namun negara melalui hukum harus menjaminnya. Salah satu bentuk perlindungan HAM diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pengaturan tersebut berada di dalam BAB XA tentang HAM yang dimulai dari Pasal 28A hingga Pasal 28 J. Dari banyaknya hak yang diatur, salah satu yang dilindungi adalah untuk membentuk keluarga sebagaimana tercantum dalam Pasal 28B ayat 1. Oleh karena itu, negara perlu mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk membentuk keluarga yang direalisasikan dalam sebuah perkawinan.
Sebagai bentuk aktualisasi hak tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah mengeluarkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Peraturan tersebut mengatur mengenai syarat-syarat perkawinan, batasan dan larangan perkawinan, perjanjian perkawinan, perkawinan campuran, dan ketentuan-ketentuan lain. Berkaitan dengan perkawinan campuran, hal tersebut kini makin umum dilakukan dan terus bertambah jumlahnya. Perkumpulan Perkawinan Campur (PerCa) mengatakan bahwa hingga tahun 2018, anggotanya telah berjumlah 1.200 dan belum termasuk yang tidak bergabung. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkawinan campur menjadi hal yang lumrah dan banyak ditemui kala ini.
Meskipun sama-sama perkawinan, pada faktanya perkawinan campuran kerap kali memiliki problematika tersendiri bagi para pelakunya. Satu dari banyaknya permasalahan dari perkawinan campuran adalah adanya perpaduan hukum dalam hukum perkawinan di mana berpotensi untuk menimbulkan kebingungan. Terlebih, hingga kini peraturan terkait perkawinan campuran di Indonesia terus semakin bertambah. Lalu, bagaimana pengaturan perkawinan campuran di Indonesia? Hal – hal baru apa saja yang perlu diperhatikan bagi calon pasangan perkawinan campuran? Dalam artikel ini akan dibahas secara mendalam terkait perkawinan campuran, khusus yang dilakukan di Indonesia.
Apa itu perkawinan campuran?
Cohen sebagaimana dalam buku Hariyono dengan judul “Kultur Cina dan Jawa : Pemahaman Menuju Asimiliasi Kultur,” berpendapat bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan yang dilakukan antara individu yang berbeda etnis. Sementara itu, UU Perkawinan memberikan definisi otentik sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup signikan dari dua definisi tersebut. Namun, definisi UU Perkawinan terlihat lebih masuk akal karena perkawinan antara 2 orang yang berbeda etnis tidak menjamin berbeda kewarganegaraan. Dengan demikian, UU Perkawinan memberikan definisi yang lebih jelas dan akurat.
Dari definisi yang diberikan dalam UU Perkawinan, tercantum frasa ‘perkawinan dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan’. Sesungguhnya hal tersebut dapat menimbulkan kebingungan. Apakah yang dimaksud dari frasa tersebut adalah perkawinan campuran dilaksanakan di Indonesia? Jawabannya adalah bukan. Maksud dari frasa tersebut adalah untuk mempertegas bahwa keduanya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga berdampak pada bedanya hukum yang ditaati meski dalam satu wilayah yang sama. Meski begitu, bukan berarti WNA tidak tunduk terhadap hukum Indonesia, hanya saja secara keseluruhan hukum yang berlaku bagi dirinya adalah hukum asing.
Bagaimana prosedur umum perkawinan campuran?
Prosedur umum perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60 Undang – Undang Perkawinan yang berisi :
- Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
- Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
- Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
- Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
- Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Dalam prosedur di atas dijelaskan bahwa proses pertama yang harus dilakukan adalah memenuhi syarat-syarat yang berlaku. Terlihat bahwa ada percampuran hukum perkawinan yang ditunjukkan pada ayat 1 di mana pihak WNA harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh negaranya. Bukti bahwa pasangan telah memenuhi persyaratan adalah dengan dikeluarkannya surat dari pejabat yang berwenang, yakni pejabat kantor pencatatan sipil untuk pasangan yang bukan beragama Islam dan pejabat Kantor Urusan Agama untuk pasangan yang keduanya beragama Islam. Perlu diperhatikan pula bahwa jangka waktu berlakunya surat keterangan tersebut adalah selama 6 bulan sejak surat diberikan, apabila perkawinan tidak dilakukan maka dianggap berlaku.
Bagaimana prosedur khusus pelaksanaan perkawinan campuran serta persyaratan yang dibutuhkan bagi pasangan yang beragama Islam?
Pertama-tama calon pasangan perlu menyiapakan dokumen-dokumen administrasi untuk diajukan kepada Kantor Urusan Agama. Dokumen administrasi yang diperlukan agak sedikit berbeda antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
WARGA NEGARA Indonesia
(Pasal 4 PMA 20/2019) |
WARGA NEGARA ASING
(Pasal 27 PMA 20/2019) |
|
|
Setelah seluruh dokumen yang diperlukan telah dipersiapkan, calon pasangan dapat membawa seluruh dokumen tersebut ke Kantor Urusan Agama setempat. Setelah seluruh berkas diberikan, Kantor Urusan Agama akan melakukan verifikasi data, kelengkapan, serta rukun nikah. Selanjutnya, calon pasangan perlu membayar biaya perkawinan sebesar Rp. 600.000 untuk perkawinan yang dilangsungkan di luar Kantor Urusan Agama atau di luar jam kerja Kantor Urusan Agama (biaya perkawinan tidak dibayarkan apabila calon pasangan melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama pada saat jam kerja). Kemudian, calon pasangan melakukan Akad Nikah dan dan pemberian buku nikah setelahnya. Tahap terakhir, perkawinan tersebut dicatat di kantor Urusan Agama.
Baca Juga : Mengenal Perjanjian Perkawinan di Indonesia
Bagaimana prosedur khusus pelaksanaan perkawinan campuran serta persyaratan yang dibutuhkan bagi pasangan yang bukan beragama Islam?
Untuk calon pasangan yang bukan beragam Islam, proses perkawinan biasanya dimulai dari pengurusan dokumen administrasi sesuai dengan ketentuan dari tempat ibadah masing-masing. Setelah itu calon pasangan mengadakan upacara perkawinan yang disesuaikan dengan agama amsing-masing. Setelah proses upacara keagamaan berlangsung, pasangan melakukan pencatatan perkawinan dengan melengkapi dokumen-dokumen administrasi sebagai berikut:
Warga Negara Indonesia
(Pasal 37 ayat 1 Perpres 96/2018) |
Warga Negara Asing
(Pasal 37 ayat 2 Perpres 96/2018) |
|
|
Setelah pencatatan, maka proses perkawinan campuran bagi pasangan yang bukan beragama Islam telah selesai.
Keimigrasian perkawinan campuran
Setelah pasangan melangsungkan perkawinan, biasa keduanya memutuskan untuk menentukan tempat tinggal. Tidak jarang Indonesia dijadikan residensi pasangan tersebut. Namun, PerCa sebagai lembaga masyarakat yang berkaitan erat dengan perkawinan campuran mengatakan bahwa terkadang urusan keimigrasian menjadi cukup sulit bagi WNA yang ingin tinggal di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut, sejak dikeluarkannya peraturan cipta kerja, beberapa sektor mengalami perubahan termasuk keimigrasian. Realisasi perubahan tersebut dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian. Perubahan tersebut dapat dilihat ketentuannya dalam tabel di bawah ini.
PP 48/2021 | |
Pasal 102 |
|
Pasal 141 |
|
142 ayat 2 huruf b | bagi Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal l4l ayat (1) huruf e, meliputi:
|